Ono Niha

PIONER DAN INSPIRATOR NONO NIHA

Guru Besar Prof. Drs. Taliziduhu Ndraha

Nias-Bangkit.com. Di rumah dinasnya yang terletak dalam Kompleks Kampus Institut Ilmu Pemerintahan, Kawasan Ampera, Jakarta Selatan, Taliziduhu Ndraha, yang di lingkungan kampusnya akrab dipanggil Pak Talizi, menerima kami dengan ramah. Mula-mula ia mempersilakan kami masuk, lalu kembali masuk ke kamar untuk berganti pakaian. Tak lama kemudian, lelaki berjulukan Pendekar Ilmu Pemerintahan itu siap memulai perbincangan dengan kami.
Tutur sapa lelaki yang menyandang gelar Guru Besar sejak 1988 itu pelan dan tenang. Hampir tak ada ungkapan emosional sepanjang lebih dari 2 jam kami berbincang. Kalimat-kalimat yang dituturkan terkesan muncul dari konsep pemikiran yang
matang. Tentu para mahasiswa senang mengikuti perkuliahannya, ia mampu menjelaskan persoalan rumit dalam bahasa yang amat mudah dipahami.
“Saya tidak terlalu suka dengan politik,” ucapnya mengejutkan. Lalu tawanya berderai saat mengetahui keheranan kami. Kehidupan politik praktis di Indonesia pasti menjadi dasar ucapan itu. Kajian ilmiah politik sering kali bertolak belakang dengan kenyataan yang hidup di masyarakat. Ia pun menyebut nama politisi yang berperilaku buruk untuk mempertegas ketidaksukaannya itu.
Pilihan hidupnya adalah bidang pendidikan. Berpikir serius untuk menyumbangkan konsep pembangunan lebih menarik minatnya. Tanpa kenal lelah ia melakukan itu meskipun sering kali hasil kerjanya dicampakkan oleh para pengambil keputusan karena pertimbangan kepentingan politik mereka. Namun, ketulusannya pada profesi itu membuatnya tetap tegar bekerja meski umurnya telah ada di kepala delapan.
Ia telah lebih dari setengah abad meninggalkan kampung halaman dan menikah dengan perempuan Jawa, setelah istri pertamanya meninggal dunia. Namun, ia tidak lupa Bahasa Nias. Beberapa suku kata Nias, menurut dia, sepatutnya bisa disumbangkan pada bahasa Indonesia. Dasar pertimbangannya adalah kenyataan bahwa bahasa Nias sudah tua. Sebagaimana bahasa-bahasa daerah yang lain, bahasa Nias layak ikut mendukung pertumbuhan bahasa nasional.
Dengan demikian, bahasa nasional tumbuh dari sumbangan bahasa-bahasa daerah. Hal ini wajar mengingat Bahasa Melayu sebagai dasar dari Bahasa Indonesia memiliki kelemahan. Hasilnya tentu akan unik karena watak bahasa daerah berbeda-beda. “Lihat misalnya Bahasa Jawa yang unik,” tuturnya. Ini terletak dari cara berpikir orang Jawa. Mereka akan bertahan bila menghadapi orang sombong. “Sementara kalau dipuji dia malah akan mengalah,” tambahnya.
Sungguh sayang karena saat ini jumlah suku kata Nias yang diserap ke dalam Bahasa Indonesia masih amat sedikit. Para pegiat bahasa mesti melirik kosakata Nias dan mempertimbangkannya sebagai padanan istilah asing. Hal ini tentu akan lebih bijak ketimbang membiarkan generasi muda menjadi latah dan serampangan memasukkan istilah asing dalam Bahasa Indonesia. [Donny Iswandono]

———————————————————————————————————————————————————————-

Mayjen. TNI. Drs. Chistian Zebua, MM.

NBC — Sejak menjabat sebagai Kadispen TNI AD di tahun 2008, sosok Mayor Jenderal Christian Zebua langsung menjadi kebanggaan masyarakat Nias. Kebanggaan ini bukan hanya semata-mata posisi penting yang dijabat namun juga karena ia merupakan putra daerah Nias pertama dan baru satu-satunya berpangkat Mayor Jenderal.

Namun hal itu tak lantas membuat putra sulung pasangan Faogõnasõkhi Zebua (84) dan Yulia Zebua (78) ini tinggi hati. Justru sikap sederhana dan bersahabat yang ia tunjukkan saat ditemui NBC secara eksklusif di kediaman orangtuanya di Jalan Yos Sudarso No. 178 Gunungsitoli seusai melakukan kunjungan di dua sekolah yang ada di Gunungsitoli Jumat  (24/2/2012).

Suasana haru sempat meliputi sebelum wawancara dimulai. Bahkan, sang jenderal bintang dua ini nyaris menitikkan airmata kala bercerita tentang pengorbanan kedua orangtuanya terutama sang ibu.

“Saya datang ke sini karena saya dengar mami (panggilan untuk sang ibu) sakit sekaligus menyerahkan bantuan berupa 25 unit komputer di SMP almamater saya di kota Gunungsitoli,” ujarnya sambil sesekali memeluk erat sang ibu yang duduk di kursi roda.

Untuk mencairkan suasana haru itu, bapak tiga anak ini menceritakan masa kecilnya. Sesekali ia melontarkan candaan termasuk saat bercerita tentang kedisplinan yang diterapkan orangtua kepadanya dan keenam adik-adiknya.  Namun, ia tidak memungkiri kalau kedisiplinan yang ditanamkan orangtuanya itu juga menjadi faktor pendukung sehingga ia bisa menjadi seperti sekarang ini.

“Orangtua saya sangat disiplin. Pukul 5 pagi harus bangun, makan harus selalu bersama-sama, kalau bermain pukul 4 sore sudah harus pulang. Kalau tidak, pasti dihukum,” kenangnya sambil berdiri satu kaki lalu merentangkan kedua tangannya, memperagakan salah satu hukuman yang pernah ia terima bila tidak mematuhi disiplin tersebut.

Sebenarnya, Jenderal yang akrab dipanggil Tian saat kecil itu awalnya bercita-cita ingin menjadi presiden. Entah mengapa, kemudian ia berubah haluan menjadi seorang tentara. Padahal, ia tahu bahwa seleksi masuk AKABRI itu sangat sukar. Belum lagi ia tidak memiliki pendukung lainnya yang konon harus dipenuhi agar bisa lulus, seperti koneksi dan uang. Tapi, ia memiliki keyakinan yang kuat bahwa ia mampu bersaing dengan yang lainnya.

“Saya masuk taruna hampir tidak lulus, lho! Karena saya tidak bisa berenang. Tapi karena saya punya semangat yang kuat, saat tes renang saya tutup mata lalu meluncur sejauh 15 meter dan setelah itu saya pingsan. Tapi lulus!” tutur pria yang hobi main golf dan membaca ini.

Berada dalam lingkungan pendidikan yang sebagian besar diikuti oleh keluarga dari kalangan pejabat teras itu tidak membuat ia mundur atau rendah diri. Begitu pula saat mengalami kenyataan pahit harus turun pangkat karena melakukan pembelaan dalam sebuah kasus pemukulan. Namun, tak lama kemudian ia pun naik pangkat dan ditugaskan ke Australia.

———————————————————————————————————————————————————————-

Guru Besar Prof. Dr. Fakhili Gulo

NIASONLINE, JAKARTA – Satu lagi putra Nias menyandang gelar Guru Besar atau Profesor. Kali ini disematkan pada Dr. Fakhili Gulö sebagai Guru Besar pada Jurusan Kimia Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Universitas Sriwijaya, Palembang.

Pengukuhan sebagai Guru Besar ke-56 universitas itu dilakukan di Aula Gedung Pascasarjana UNsri, Bukit Besar, Palembang, Jum’at (27/4/2012). Hadir dalam pengukuhan tersebut,Rektor Unsri Badia Parizade, Staf Ahli Gubernur Sumsel Bidang Pemerintahan Jhonson dan civita academica Unsri.

Dalam pengukuhannya, Prof. Dr. Fakhili Gulö menyampaikan orasi ilmiah berjudul “Perkembangan Kluster Niobium Oksiklorida Menuju Material Masa Depan”.

Sekilas profil pria kelahiran Fadorohili pada 9 Desember 1964 tersebut, yang dikutip dari akun facebooknya.

Setelah menamatkan sekolah menengah atas di SMA Negeri Sirombu, Dr. Fakhili mengambil gelar Bachelor of Arts in Education bidang Chemistry and Education di Universitas Negeri Medan. Kemudian, melanjutkan ke Universitas Gadjah Mada untuk program Master of Science bidang Kimia.

Gelar Doktor bidang Teknik Material diraihnya di Université de Rennes. Selanjutnya, menempuh dua pendidikan post doctorate di Max Planck Institute for Solid State Research, Solid State University dan di Iowa State University, Amerika Serikat.

Sementara itu, dia juga menjadi pengajar di Unsri sejak Februari 1991 sampai sekarang dilantik menjadi Guru Besar. (EN/SI)

———————————————————————————————————————————————————————-

Guru Besar Prof. Sua Hasil Nazara, Ph.D

Karena masih dapat dihitung dengan jari manusia dari pulau Nias, Sumatera Utara, yang telah menjadi Guru Besar, karena itu pengukuhan Sua Hasil Nazara, Ph.D., sebagai Guru Besar dalam bidang Ilmu Ekonomi Universitas Indonesia pada tanggal 10 Maret 2010 di kampus UI Depok oleh Menteri Pendidikan Nasional lalu menjadi sangat penting. Hal ini penting sebab ia adalah kader pulau Nias yang masih memiliki kesempatan terbuka lebar ke depan dan asset bangsa Indonesia yang masih berada dalam tataran generasi muda. Menurut informasi, bahwa Prof.Sua Hasil Nazara merupakan Guru Besar termuda di bidang Ilmu Ekonomi yang dihasilkan oleh UI dan warga “Ono Niha” (anak pulau Nias) pertama yang mendapat gelar sebagai Guru Besar di Kampus UI Depok, Jawa Barat. Ia mendapat jabatan Guru Besar dalam usia 38 tahun 10 bulan.

Pada acara syukuran, Sabtu 20 Maret lalu di Gedung Persada Halim Perdana Kusuma Jakarta yang diselenggerakan oleh orang tua dari Prof.Sua Hasil Nazara, bapak Ama Sua atau Hanati Nazara, SH, sangat terlihat suasana gembira dan sukacita. Tidak hanya teman-teman atau kawan-kawan dari Bapak Ama Sua yang memang kebanyakan sudah sepuh banyak hadir, juga teman dan kawan-kawan dari ibu Ina Sua semasih kuliah di Universitas Andalas Padang dan telah menjadi orang-orang berhasil di Jakarta sekarang ini, sangat meramaikan acara syukuran ini dengan lagu-lagu dari Sumatera Barat. Lebih-lebih tentu saja sebagian masyarakat Nias di Jakarta yang turut di undang dalam acara syukuran ini, memperlihatkan kebahagiaan mereka. Dan yang paling istimewa larut dalam kebahagiaan adalah warga PKLN (Persatuan Keluarga Masyarakat Lahewa) yang ada di Jakarta, karena Bapak Ama Sua adalah Penasehat dari PKLN. Dan dengan sendirinya Prof.Sua Hasil adalah warga PKLN Jakarta.

Dalam bincang-bincang sebelum dan selama acara syukuran, juga ketika Prof.Sua Hasil memberikan kata sambutan, satu pertanyaan yang amat penting karena hampir semua orang mempertanyakan hal ini kepadanya. “Apa rencana atau cita-cita setelah memperoleh jabatan Guru Besar ?”. Maka ia dengan tegas menjawab bahwa cita-citanya adalah “fokus di kampus dan mengajar mahasiswa”. Kemudian membesarkan ke tiga anaknya bersama dengan isterinya agar mereka juga dapat berhasil dalam pendidikan mereka sebagaimana orang tuanya telah berhasil mendidiknya sehingga dapat berhasil dalam studi. Agar pendidikan bagi anak-anaknya ini tidak terbengkalai, Livia kelas IV SD Pangudi Luhur, Darian kelas 1 SD Pangudi Luhur, dan Iyana yang baru berusia satu tahun, dengan rela dan tulus isterinya Christina Pusporini Messach total menjadi ibu rumah tangga mendampingi ketiga buah hati mereka ini setiap hari.

Prof.Sua Hasil Nazara sangat mengerti dan merasakan bahwa banyak harapan yang diinginkan oleh masyarakat kepadanya, apalagi karena ia masih muda, yang bisa menjadi bagian perjalanan hidupnya kelak. Misalnya, agar jadi “ini” atau menjadi “itu”. Baginya harapan itu adalah sah-sah saja. Karena itu menurutnya, ia bisa saja bersedia mengerjakan hal-hal lain, tetapi tentu sepanjang tidak terbengkalai tugas utamanya di kampus. Baginya seseorang tidak harus melakukan segala hal, seseorang harus fokus pada bidang keahlian yang memang dicintainya. Pada sisi lain, Prof.Sua hasil sangat menyadari bahwa pendidikan di pulau Nias sangat jauh ketinggalan. Bisa saja salah satu faktor karena ketidak mampuan ekonomi orang tua, akibatnya orang tua tidak dapat menyekolahkan anak-anaknya di jenjang yang lebih tinggi dan di sekolah yang berkualitas. Seperti saya, katanya : ketika sekolah di Amerika, biayanya tidak semua dari orang tua. Walaupun orang tua saya mantan Sekwilda dan mantan Bupati satu periode di Pulau Nias, dan saya adalah anak tunggal tetapi saya dapat sekolah S-3 di Amerika adalah karena mendapatkan beasiswa. Namun sebagai bentuk kepeduliannya, Prof.Sua Hasil bersedia membuka jalan bagi satu sampai dua orang Sarjana dari Pulau Nias yang betul-betul berkualitas, untuk studi S-2 di UI, demi tersedianya kader-kader handal untuk membangun Pulau Nias ke depan.

Kita mengucapkan “Selamat”, kepada Prof.Sua Hasil Nazara, Ph.D. dan keluarganya. Bagaimanapun dari tangannya kita tetap berharap kader-kader handal dari Pulau Nias dapat muncul lebih banyak lagi. Dan juga kepada Bapak Ama Ina Sua, yang telah berhasil memandirikan seorang manusia yang lahir dari pernikahan mereka 38 tahun silam. Sehingga manusia itu, kini akan berjalan pada jalannya sendiri. Benar kata Kahlil Gibran, “benar seorang anak lahir dari engkau, tetapi mereka bukanlah milikmu”.

Tinggalkan komentar